Oleh : Tim Wacana Nusantara
Dikutip dari Wacana Nusantara, 23 Oktober 2010
(www.wacananusantara.org/)
Apa
yang kira-kira terlintas dalam benak ketika kita menyebutkan nama-nama
seperti Hayam Wuruk, Sanjaya, Purnawarman, Mulawarman, Sultan
Hasanuddin, Patiunus, Pattimura, atau sederet nama lain yang telah
mengukirkan nama dalam sejarah bangsanya? Apa yang kemudian menjadikan
pendahulu-pendahulu kita tercatat dalam ingatan dan sejarah? Lantas, apa
yang akan ditulis oleh orang-orang jauh di masa depan tentang kita?
Sejarah
tidak akan menulis sebuah peristiwa biasa-biasa saja, ia tidak akan
merekam seorang tokoh yang biasa-biasa saja. Sejarah akan menulis
peristiwa dan merekam tokoh yang luar biasa, yang mengubah wajah
peradaban sekelompok masyarakat atau dunia. Bagaimana pun kiprah seorang
Tan Malaka berusaha dilupakan, sejarah akan tetap menjemput dan
mencatatnya, sedalam apa pun Perang Paregreg mencoba dikubur, sejarah
akan tetap mengangkatnya ke permukaan.
Sesungguhnya,
manusia-manusia macam apakah mereka itu? Sehingga mereka begitu
dicintai oleh sejarah? Apakah mereka adalah orang-orang yang diberi
kecerdasan berlebih? Kekuatan yang mumpuni? Atau sekadar orang yang
tepat di saat yang tepat? Mungkin saja! Namun satu hal yang pasti,
melalui sejarah pula kita akan menemukan bahwa mereka memiliki bahan
utama yang menjadi dasar seorang manusia sejati—dalam bahasa popular,
saat ini apa yang mereka miliki: karakter.
Karakter
adalah kumpulan kualitas terbaik yang mungkin dimiliki seorang manusia
seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan dan kesederhanaan, karakter
juga mencakup integritas, moral yang baik dan terhormat diramu dengan
tepat bersama kecerdasan dan kepandaian. Berdiri di baris depan dalam
sebuah pertempuran tidak selalu berarti berani, dalam kesempatan lain
hal tersebut justru membahayakan diri sendiri dan orang lain, begitu pun
dengan membagi rata sesuatu hanya berdasarkan jumlah tidak selalu
dapat disebut sebagai adil.
Membangun
karakter tidak sulit sekaligus juga tidak mudah. Tidak sulit karena
bangsa ini memiliki banyak kearifan lokal sebagai materi; sementara
tidak mudah, karena hal tersebut harus disampaikan dan dilatih sedini
mungkin. Sedari dini berarti dimulai sejak sang anak mulai mengenal kata
dan mengidentifikasi objek, mencoba memahami perilaku, dan bertanya
tentang segala sesuatu. Mengapa? Karena usia dini merupakan masa seorang
individu memiliki kemampuan merekam yang sangat luar biasa dan segala
memori yang terpatri pada masa ini akan menjadi pondasi karakter
individu tersebut di masa depan.
Apabila
kita cermati materi dan metode pendidikan di Indonesia akan sangat
terasa sekali kurangnya muatan-muatan pendidikan yang dapat menghasilkan
seorang manusia yang berkarakter, dan materi pendidikan yang memiliki
muatan pendidikan karakter salah-satunya adalah pendidikan Sejarah dan
Budaya Bangsa – tolong dipahami, belajar sejarah bukan hanya mengingat
tahun, tokoh dan peristiwa, dan belajar Budaya Bangsa tidak selalu
mengidentifikasi sebuah seni tradisi berasal dari suku dan daerah mana.
Di
sisi lain, forum diskusi, latihan merangkai konsep dalam sebuah uraian
yang terstruktur kemudian mempresentasikannya, dan berorganisasi pun
saat ini di semua tingkat pendidikan sudah sangat kurang, terutama di
tingkat perguruan tinggi. Bahkan di tingkat ini, berorganisasi justru
dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis, ironis.
Saat
ini pendidikan di Indonesia mencoba “sinergis” dengan pasar, apa yang
sedang dan akan ramai, itu yang akan ditingkatkan. Namun pada akhirnya
pendidikan yang dibangun dengan konsep ini berkecenderungan menghasilkan
manusia-manusia kelas kacung. Dengan materi dan metode pendidikan yang
baik, para pengajar yang ahli dan mumpuni, serta sedikit keberuntungan,
sisi bidang keahlian mungkin mampu bersaing secara global, namun tetap
saja, hanya mampu bersaing di kelas kacung!
Kami
kadang berimajinasi, alangkah “hidup” suasana pendidikan di negeri ini
apabila celoteh-celoteh siswa tidak hanya bertanya atau membahas hukum
Newton, kalkulus atau hukum probabilitas, tetapi juga berbincang tentang
filosofi kebenaran, nilai, kejujuran, keadilan, dan prima causa, dan di sana akan melahirkan calon-calon pemimpin bangsa yang berkarakter. Sungguh!
Mari
rekan-rekan, kita merenung sejenak dan berimajinasi, apa yang akan
terjadi dengan sebuah negeri yang kaya akan sumber daya alam dan kaya
akan sumber daya manusia yang berkarakter!
Salam Nusantara!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar