Guru
Karya : Putu
Wijaya
Anak saya bercita-cita menjadi guru.
Tentu saja saya dan istri saya jadi shok. Kami berdua tahu, macam apa masa
depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak
dia ngomong.
"Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!"
Taksu mengangguk.
"Betul Pak."
Kami kaget.
"Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?"
"Ya."
Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak
percaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu
nampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang
barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya.
Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju.
Istri saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi.
Saya mulai bicara blak-blakan.
"Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu
terserah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di
desa. Kita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh
globalisasi, alias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang
mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka
gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti?
Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih
menguntungkan. Ngapain jadi guru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang
gagal, kenapa kamu jadi putus asa begitu?!"
"Tapi saya mau jadi guru."
"Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti
apa? Guru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun
tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol
besar. Lihat mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan
dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari
tani. Karena profesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos
jalan saja kurang. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu
cita-cita sepele banget, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu?
Mana ada guru yang punya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito
dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih
saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh
sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya
untuk sekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak
dingin!"
"Sudah saya pikir masak-masak."
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi
guru."
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang
perjalanan. Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah
salah didik, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya.
"Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja
sekarang. Masak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"
Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua
dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar
bisa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi
mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan
kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri
membawa sebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami
tanyakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban
yang sama.
"Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak,"
katanya sama sekali tanpa rasa berdosa.
Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang
mukanya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.
"Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian
orang-orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya.
"Mentang-mentang mereka bilang,
guru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua!
Itu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan
orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek
dan bejat sekarang? Ah?"
Taksu tidak menjawab.
"Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri,
negara tidak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak
orang seperti kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang
seperti kamu, Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi
tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya
orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal
anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah
setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja
kamu tidak nyahok?"
Taksu tetap tidak menjawab.
"Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa
gunanya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu
adalah duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang
meterialistik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena
tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa
hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan
yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang
tidak berguna? Paham?"
Taksu mengangguk.
"Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"
Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.
"Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia
waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat,
ini soal hidup matimu sendiri, Taksu!"
Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak
mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik.
"Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos
terlalu dalam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha
melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak
zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak
harus kerja keras beliin dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat
kita!"
Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang
suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah,
mungkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang
saya usulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri
memang selalu mengukur suami, dari perasaannya sendiri.
Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi
kami. Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang
tua yang selalu minta diperhatikan anak.
Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya
datang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil
kredit sebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya
kuat beli murah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau
memang dia mau mengubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan
saya serahkan, nanti.
"Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu.
"Ini hadiah untuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."
Taksu melihat kunci itu dengan dingin.
"Hadiah apa, Pak?"
Saya tersenyum.
"Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi,
singkat kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"
Taksu memandang saya.
"Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"
Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali.
"Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil
sekarang juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab
itu memalukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu,
mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan,
dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada
bangsa dan punya duit untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo
nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru!
Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah kamu akan kembali
menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes.
Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti
itu!"
Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir.
Kemudian saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci
itu lagi.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan
sesungguh-sungguhnya, saya hormat atas perhatian Bapak."
Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan
saya ditaruhnya kembali kunci mobil itu.
"Saya ingin jadi guru. Maaf."
Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya
itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya
cukup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan
masukkan ke kantung celana.
"Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan
depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri
langsung bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam
teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan
yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti
akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak
apa."
Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira
Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa
melakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah
kurang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi
guru. Sialan!
Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil
mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.
"Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu
sebenarnya?"
"Mau jadi guru."
Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas
meja meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.
"Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata
dan pikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa
kamu mau jadi guru, Taksu?!!!"
"Karena saya ingin jadi guru."
"Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"
"Saya mau jadi guru."
"Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."
Taksu menatap saya.
"Apa?"
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!"
teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu
lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh,
berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yang akan datang. Guru
tidak bisa mati, Pak."
Saya tercengang.
"O… jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"
"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."
Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.
"Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori
pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi
kamu, Taksu?"
Taksu memandang kepada saya tajam.
"Siapa Taksu?!"
Taksu menunjuk.
"Bapak sendiri, kan?"
Saya terkejut.
"Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan
ngacau! Kamu tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang
lalu! Waktu itu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main,
kamu bahkan bandel dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah
naik ojek. Kamu tidak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang
gizi, tapi itulah orang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang
ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus
menghormati mereka, sebab dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa
melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisa bersaing di zaman global ini.
Tahu?"
Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang
hidup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang
mentang-mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.
"Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap.
"Kalau cinta bener buta apa
gunanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di
jalan.
"Kalau kamu menjadi buta, itu
namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipun keluarga
pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi
kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak
perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara
bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan
lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta
benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya
hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak
pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan
materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh
berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi beradab?
Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"
Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah.
"Ini satu milyar tahu?!"
Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil
siap-siap hendak pergi.
"Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja
menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan
dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang!
Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!"
Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa
yang sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata
istri saya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika
kesadarannya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.
"Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri
saya kalap.
Saya bingung.
"Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih
anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak
sama anak dagang. Dasar mata duitan!"
Saya tambah bingung.
"Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"
Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu
itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami
berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan
akhirnya sempat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu
kami pasrah tetapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah
Taksu. Anak yang sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?
"Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.
Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu
seperti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost
itu sudah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya
secarik kertas kecil dan pesan kecil:
"Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."
Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu.
Kertas yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci
BMW yang harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di
dalam kamar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau.
Apakah sudah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya
kembali memaki-maki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya
memaki-maki guru yang sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia,
padahal dalam kenyataannya banyak sekali guru yang brengsek.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi
ketika menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa
cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian
menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya
berontak. Kalau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan.
Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya
saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras.
Tetapi itu 10 tahun yang lalu.
Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga
semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul
beban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor
barang-barang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke
berbagai wilayah mancanegara.
"Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi
anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan
negara, karena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika
Taksu mendapat gelar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi
bergengsi.
Sinopsis
Taksu adalah seorang anak yang
bercita-cita menjadi guru, tapi ditentang oleh kedua
orang tuanya. Orang tua taksu menginginkan anaknya bekerja selain jadi
guru dengan alasan pertama adalah honor guru yang amat rendah, tapi pekerjaannya banyak, menguras waktu, tenaga, dan
pikiran. Provesi guru hanyalah sebagai pelarian untuk tidak
menjadi pengangguran. Provesi guru juga dianggap sebagai provesi pelarian
orang-orang yang gagal. Orang tua Taksu tercengan dan syok menerima jawaban yang selalu sama dan
tidak pernah goyah,tetap ingin menjadi guru.
Beberapa bulan
waktu yang diberikan orang tuanya untuk
memikirkan ulang tentang keinginannya. Tidak hanya waktu yang diberikan kepada
Taksu, namun segala yang diinginkan Taksu akan diberikan, asalkanTaksu mau melepaskan ambisinya untuk menjadi
guru. Ayah dan ibu Taksu mengimingi taksu dengan laptop tercangggih dan terbaru, mobil biasa, sampai mobil mewah
sekalipun, untuk membujuk Taksu agar mau menurut keinginan orang tuanya. Namun semua itu lagi-lagi tidak menggoyahkan
tekat dan keinginanTaksu, ia tetap ingin
menjadi guru. Kata kata tekad yang sangat terngiang oleh
bapaknya adalah :
"Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!"
teriak saya kalap.
Taksu balas memandang saya tajam.
"Bapak tidak akan bisa membunuh saya."
"Tidak? Kenapa tidak?"
"Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu
lenyap. Tapi apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh,
berkembang dan memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang.
Guru tidak bisa mati, Pak."
Kalimat ini
yang mencengangkan ayah dan ibu Taksu, betapa besar tekat anaknya untuk
mewujudkan cita-citanya untuk menjadi guru.
Di akhir cerita
Taksu akhrinya menjadi seorang profesor doktor yang kini mempunyai perusahaan
besar yang mengimpor barang-barang mewah dan
mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wilayah
mancanegara. Selain itu dia
juga menjadi guru 10.000 pegawainya dan menjadi guru untuk generasi muda
tentang bagaimanakah sikap kerjanya.
ANALISIS
A.UNSUR INSTIRINSIK
Unsur instrinsik yaitu unsur yang membentuk Cerpen dari
dalam tubuh cerpen itu sendiri. Unsur unsur itu antara lain :
1.Tema
Tema merupakan
sebuah gagasan atau pemikiran yang disampaikan oleh pengarang yang berfungsi
sebagai pedoman dalam menulis karangaannya. Tema terbagi pada dua yaitu tema
Mayor dan Tema minor. Tema mayor adalah tema Yang mendominasi dalam cerita yang
ditulis oleh pengarang. Sedangkan tema minor adalah tema lain yang dapat
diambil datri cerita yang ada.
Tema Mayor
Tema yang diangkat dalam cerpen ini
adalah tentang kebulatan tekat seorang remaja untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang guru.
Tema Minor
·
Keberhasilan dan kebahagiaan tidak
bisa dibeli dengan harga berapapun.
·
Keberhasilan diraih dengan
sungguh-sungguh
2.Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin ddisampaikan oleh pengarang kepada
pembaca. Berikut amanat yang bisa kita petik dari cerpen Guru.
·
Keberhasilan haruslah diraih dengan
kerja keras.
·
Memberikan sesuatu kepada orang
lain harus dengan rasa iklhas dan mengharap Ridho Allah.
·
Berjuanglah sungguh sungguh demi
meraih sebuah cita-cita yang mulia.
·
Jadilah orang yang mampu berguna
bagi diri sendiri, orang lain , nusa dan bangsa.
·
Jasa seorang
guru tidak akan dapat digantikan dengan apapun, dan tidak tidak akan pernah mati.
·
Kesuksesan diri kita tidak
ditentukan oleh orang lain , tapi dari diri kita sendiri.
3.Penokohan
Penokohan terbagi menjadi tiga yaitu Tokoh Utama, Tokoh Pembantu, dan Tokoh
bayangan.
Tokoh dalam
cerpen ini adalah Taksu, ayah Taksu, Ibu Taksu, dan Mirna.
·
Tokoh utama : Taksu, ayah taksu . karena
pada cerpen yang berkonflik adalah taksu daengan ayahnya.
·
Tokoh pendamping : ibu Taksu. Ibu
taksu hadir ketika ayahnya sedang gagal meyakinkan taksu.
·
Tokoh Bayangan : Mirna. Mirna
sering disebut dalam cerpen tetapi mirna tidak dimunculkan karakternya pada
cerpen diatas.
4.Alur/Plot
Pada cerpen diatas jenis alur yang digunakan adalah alur flashback atau
mundur. Pengarang menceritakan kisah tentang anaknya pada sepuluh tahun yang
lalu. Sedangkan bagian ceritanya adalah Generating Circumtanse atau tokoh utam
muncul sudah mempunyai masalah. Masalah yang dibawanya adalah keinginnayya
menjadi guru ditentang oleh ayahnya.
5.Setting
Merupakan unsur yang menjelaskan cerita secara rinci. Berikut beberapa
setting yang ada dalam cerpen Guru.
1.
Tempat :Latar tempat dalam cerpen ini
adalah dirumah orang tua Taksu, dikos Taksu, dan di jalan.
2.
Waktu : Siang Hari
3.
Suasana : Tegang , dan Haru.
6.Perwatakan
Perwatakan adalah sebuah gamabaran karakter yang dimiliki oleh Tokoh baik
tokoh utama maupun tokoh yang lain. Perwatakan tokoh yang ada dalam cerpen Guru
adalah.
·
Taksu : Ulet , Gigih ,dan teguh
pendiriannya.
·
Ayah taksu : Keras, Tegas, dan
berwawasan Sempit.
·
Ibu Taksu : Keras , namun terkadang
penuh Kasih sayang.
7.Point of View
Merupakan sudut
pandang yang digunakan pengarang untuk menceritakan karakter karakter tokoh.
Pada cerpen Guru, Pengarang mengambil Sudut pandang orang opertama sebagai
pelaku utama. Karena pengarang menceritakan bagaimana kehidupannya dan anaknya
serta pengarang juga menjadim pelaku utama dalam cerita yaitu ayah taksu.
8.Konflik
Konflik
merupakan permasalahan yang timbul dari dalam diri tokoh. Konflik tersebut
buisa konflik fisik, Psikis, dan sosial. Berikut ini konflik yang terjadi pada
cerpen diatas.
1.
Konflik Psikis : konflik ini dialami oleh ayah Taksu.
Konflik ini disebabkan oleh sikap taksu yang sangat keras kepala tak mau
menurut orang tua sehingga membuat jengkel dan marah ayahnya, begitu pula yang
dialami oleh ibunya.
2.
Konflik Fisik : konflik ini dialami oleh taksu ketika
bogem mentah dilayangkan ayahnya yang tepat diwajahnya. Hal ini dikarenakan
taksu yang membantah kata-kata orang tuanya
3.
Konflik Sosial : pada saat ayah taksu membanting kunci
BMWnya ke lantai dan membanting gelas yang ada di meja kost taksu.
B.UNSUR EKSTRINSIK
Unsur Ekstrinsik yaitu unsur yang membentuk cerpen dari
luar cerpen . unsur itu antara lain :
1.Nilai Sosial
Nilai sosial
adalah nilai yang ada pada masyarakat. Pada cerpen diatas nilai yang bisa kita
ambil adalah sikap perjuangan yang dilakukan oleh Taksu demi mencapai
cita-citanya dan mampu mengajarkan ilmunya kepada orang lain.
2.Nilai Pendidikan
Cerpen Guru
memberikan pengajaran atau ilmu bahwa pendidikan harus diraih denagn perjuangan
yang sungguh-sungguh karena kesuksesan tidak diperoleh secara instan tapi butuh
proses dan kerja keras.
3.Nilai Filosofis
Pada Cerpen
Guru mengandung nilai filosofis bahwa kesuksesan bukan ditentukan oleh orang
lain tapi kesuksesan ditentukan oleh diri kita sendiri. Dapat diraih dengan
usaha kita yang dilakukan secara sungguh-sungguh. Orangf lain hanyalah sebagai
pembantu dan fasilitator kita , keberhasilan kita ditentukan kita sendiri.
Diposting oleh Guruh Aris Setyawan